Sick leave artinya cuti yang diberikan ketika karyawan sakit. Namun, tidak jarang kita mendengar istilah “sick leave” tanpa benar-benar memahami hak dan kewajiban yang terkait.
Artikel ini akan membahas secara komprehensif mengenai sick leave, mulai dari definisi hingga tips bagi perusahaan dalam mengelola cuti sakit karyawan.
Ketentuan Peraturan Cuti Sakit Karyawan Menurut Undang-Undang
Menurut Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, khususnya, karyawan yang tidak dapat bekerja karena sakit berhak atas cuti sakit dengan tetap mendapatkan upah penuh, asalkan dapat menunjukkan surat keterangan dokter.
Selain itu, Pasal 153 ayat (1) huruf a UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja yang sedang berhalangan bekerja karena sakit berdasarkan keterangan dokter, selama sakit tersebut tidak melebihi 12 bulan secara terus-menerus.
Karyawan Sick Leave Lama, Boleh Dipecat atau PHK?
Dalam konteks hukum ketenagakerjaan di Indonesia, Pasal 153 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan pekerja mengalami sakit untuk waktu yang tidak ditentukan, asalkan sakit tersebut dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Ketentuan ini menegaskan bahwa kondisi medis bukanlah alasan yang dibenarkan secara hukum untuk melakukan PHK sepihak.
Justru, pengusaha wajib memberikan waktu dan dukungan bagi karyawan yang sedang dalam masa pemulihan. Hal ini berlaku baik untuk penyakit ringan, kecelakaan kerja, maupun kondisi serius seperti penyakit kronis atau gangguan mental.
Sebelum mengambil keputusan PHK, perusahaan dianjurkan mempertimbangkan alternatif alih fungsi kerja (job shifting) atau pemberian fleksibilitas seperti remote working.
Misalnya, jika karyawan tidak mampu lagi melakukan pekerjaan lapangan karena kondisi fisik, mungkin mereka masih bisa diberdayakan untuk pekerjaan administrasi atau mentoring.
Batas Waktu Sakit Karyawan dan Upah Selama Cuti Sakit
Berdasarkan Pasal 93 Ayat (2) Huruf a UU Ketenagakerjaan, pengusaha tetap wajib membayar upah penuh kepada karyawan yang sakit selama 4 bulan pertama. Jika karyawan belum pulih, perusahaan tetap tidak boleh langsung melakukan PHK, tetapi dapat melanjutkan pembayaran upah dengan skema sebagai berikut:
- Bulan ke-1 hingga ke-4: 100% dari upah.
- Bulan ke-5 hingga ke-8: 75% dari upah.
- Bulan ke-9 hingga ke-12: 50% dari upah.
- Setelah 12 bulan: 25% dari upah hingga adanya keputusan lebih lanjut.
Baca juga: Mengenal Surat Izin Sakit: Contoh, dan Cara Membuatnya
Tips bagi Perusahaan untuk Mengantisipasi Pegawai yang Sick Leave

Mengelola cuti sakit karyawan memerlukan strategi yang tepat agar operasional perusahaan tetap berjalan lancar. Berikut beberapa tips yang dapat diterapkan:
1. Implementasi sistem absensi digital
Sistem absensi digital menjadi pondasi penting dalam manajemen SDM modern. Dengan platform yang terintegrasi, HR dapat langsung melihat siapa yang sedang cuti sakit, berapa lama durasinya, dan status kelanjutannya.
Tujuannya supaya perusahaan bisa cepat menyusun strategi pengganti, redistribusi kerja, atau menyesuaikan target tim. Data cuti sakit juga bisa jadi bahan evaluasi untuk melihat tren kesehatan di tempat kerja.
Selain fungsi monitoring, sistem ini membantu transparansi dan mengurangi miskomunikasi antara karyawan dan HR. Misalnya, fitur upload surat dokter atau approval digital mempermudah administrasi tanpa harus bertatap muka.
Banyak perusahaan yang bahkan mengintegrasikan sistem ini dengan payroll, sehingga secara otomatis bisa menghitung hak gaji sesuai durasi dan status cuti sakit karyawan.
2. Komunikasi terbuka dan empatik
Sering kali, karyawan ragu untuk melaporkan kondisi kesehatannya karena khawatir dianggap tidak profesional atau menyusahkan tim. Padahal, komunikasi yang terbuka bisa mempercepat penyusunan solusi tanpa membuat karyawan merasa bersalah.
Perusahaan perlu menciptakan budaya komunikasi yang empatik dan suportif agar karyawan merasa aman untuk melapor sejak gejala ringan.
HR bisa melakukan pendekatan proaktif, misalnya dengan mengadakan sesi check-in rutin atau menyediakan jalur komunikasi khusus untuk urusan personal/medis. Saat karyawan merasa didengarkan, mereka lebih mungkin bersikap jujur dan tidak memaksakan diri bekerja saat sakit.
Hal ini bukan hanya baik untuk kesehatan individu, tetapi juga mencegah potensi penyebaran penyakit di lingkungan kerja.
3. Evaluasi rutin kesehatan karyawan
Langkah preventif lebih hemat daripada reaktif. Dengan melakukan evaluasi kesehatan secara berkala, seperti medical check-up tahunan atau skrining kesehatan ringan, perusahaan bisa mendeteksi lebih awal potensi gangguan kesehatan yang bisa mengganggu produktivitas.
Misalnya, tekanan darah tinggi atau gangguan pencernaan ringan yang sering diabaikan bisa dicegah sebelum menjadi masalah besar.
Perusahaan juga bisa bermitra dengan klinik atau penyedia layanan kesehatan korporat untuk menyusun program kesehatan yang sesuai dengan kondisi pekerja, termasuk edukasi gaya hidup sehat.
Upaya ini bukan cuma menjaga kesehatan individu, tapi juga mengurangi frekuensi dan durasi sick leave dalam jangka panjang.
4. Penyediaan fasilitas kesehatan di tempat kerja
Fasilitas kesehatan di kantor, seperti ruang P3K, ruang istirahat yang nyaman, atau bahkan klinik mini dengan tenaga medis dasar, bisa menjadi game changer.
Kehadiran fasilitas ini menunjukkan komitmen perusahaan terhadap kesejahteraan fisik dan mental karyawan. Ketika karyawan merasa kurang sehat, mereka bisa langsung mendapatkan pertolongan awal tanpa harus izin keluar kantor terlalu lama.
Fasilitas ini juga meningkatkan kepercayaan dan rasa aman di kalangan karyawan, terutama di masa pasca-pandemi. Selain itu, fasilitas seperti ruang laktasi, ruang tenang, atau program health coaching juga bisa mendukung aspek kesehatan menyeluruh (wellbeing), bukan hanya medis semata.
5. Cross-training
Pelatihan silang memungkinkan anggota tim untuk saling memahami dan menjalankan tugas satu sama lain saat dibutuhkan. Ini sangat krusial untuk mengantisipasi ketidakhadiran mendadak akibat sakit.
Dengan begitu, operasional tidak terganggu karena sudah ada tim cadangan yang siap turun tangan sementara.
Praktik ini juga bermanfaat untuk pengembangan skill karyawan, karena mereka belajar tanggung jawab lintas fungsi. Selain lebih fleksibel, tim yang terlatih dalam cross-functional work cenderung lebih solid dan kolaboratif.
Perusahaan yang mengadopsi budaya cross-training akan lebih resilien terhadap perubahan, termasuk ketika menghadapi ketidakhadiran mendadak karena sick leave.
Baca juga: 11 Benefit Karyawan: Arti, Pentingnya, Contoh yang Harus Kamu Tahu
Apakah Karyawan yang Sakit Berkepanjangan di PHK?

Jika kondisi kesehatan karyawan tidak kunjung membaik setelah lebih dari 12 bulan, dan berdasarkan surat keterangan dokter/tenaga medis karyawan tidak mampu lagi bekerja secara permanen, maka perusahaan dapat mengajukan PHK melalui mekanisme bipartit atau putusan dari lembaga hubungan industrial.
Namun, tetap harus ada dasar hukum yang jelas dan keputusan bersama (mutual agreement) jika memungkinkan.
PHK karena sakit tidak bisa dilakukan sepihak. Perusahaan harus tetap menjunjung etika, memberi pesangon sesuai ketentuan, dan mendokumentasikan seluruh proses dengan baik, termasuk hasil konsultasi dengan tim medis dan upaya pemulihan yang telah dilakukan.
Sakit mental seperti burnout, depresi, atau gangguan kecemasan berat juga masuk dalam kategori sakit yang dilindungi hukum, selama diagnosisnya jelas dan disertai rekomendasi medis. Sayangnya, banyak perusahaan belum aware soal ini, padahal sakit mental bisa sama seriusnya dengan sakit fisik.
Karyawan yang mengalami gangguan psikologis dan menjalani pemulihan tetap memiliki hak atas cuti sakit dan perlindungan dari PHK. Langkah ini hanya bisa dilakukan jika ada bukti medis bahwa karyawan tidak lagi mampu menjalankan fungsi kerjanya setelah melewati masa pemulihan yang wajar dan panjang.
Baca juga: Apa Itu Annual Leave? Pengertian, Syarat, dan Kebijakannya
Kesimpulan
Dengan memahami dan menerapkan ketentuan mengenai sick leave secara tepat, perusahaan tidak hanya memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan karyawan, yang pada akhirnya akan meningkatkan loyalitas dan produktivitas kerja.
Dukung kinerja karyawan dengan program Corporate Training dari Belajarlagi. Pelatihan kompetensi yang komprehensif disesuaikan kebutuhan industri masa kini. Raih masa depan perusahaan yang gemilang, konsultasikan bareng kami sekarang juga!