Berbagai model pembelajaran mewarnai ranah pendidikan di Indonesia. Masing-masing metode memiliki ciri khas tersendiri yang nantinya berdampak ke keberhasilan proses pengajaran. Setiap pengajar juga biasanya punya salah satu tipe pembelajaran favorit yang mereka anggap paling efektif.
Nah, menentukan metode mana yang paling cocok juga harus memerhatikan kebutuhan peserta didik yang ada. Seorang pengajar mungkin lebih nyaman dengan pembelajaran langsung, tetapi benarkah itu efektif untuk peserta didik? Bisa jadi pembelajaran berbasis masalah lebih bagus untuk meningkatkan rasa ingin tahu peserta didik.
Agar tidak bingung memilih model pembelajaran mana yang tepat, Tim Belajarlagi sudah menyusun ulasan lengkapnya melalui artikel ini. Yuk, cermati masing-masing metode yang ada, adaptasikan, dan praktikkan ke proses pengajaran di kelas kita!
Definisi model pembelajaran
Menurut Ira Irviana (2020) dalam International Journal of Asian Education, model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang berisikan prosedur sistematik dalam merancang pengajaran untuk meraih tujuan tertentu.
Metode pembelajaran tersebut kemudian menjadi acuan bagi para pendidik atau pengajar dalam merencanakan sistem belajar ke peserta didik. Sebagai pendidik, kita mesti menyusun model tersebut dengan mempertimbangkan apa yang menjadi tujuan pembelajaran. Ringkasnya, metode yang kita pakai akan bergerak untuk mendorong tercapainya tujuan.
Richard Arends, seorang penulis buku-buku tentang pendidikan, menyatakan bahwa metode pembelajaran mengandung instruksi yang isinya memuat tujuan, pola dan alur, lingkungan, serta sistem pengelolaan. Keseluruhan model tadi harus mampu memenuhi kebutuhan peserta didik secara keseluruhan agar sistem belajar berjalan dengan baik dan berkualitas.
Dari pengertian tadi, kini jelas bahwa model pembelajaran adalah bagian dari proses pendidikan yang tidak bisa kita sepelekan. Jauh sebelum memulai mengajar, kita sebagai pendidik mesti menyiapkan dan merancang model ini sebaik mungkin.
Ciri-ciri metode pembelajaran
Lantas, dari mana kita tahu bahwa metode yang kita gunakan sudah efektif bagi peserta didik? Beberapa ciri yang bisa kita perhatikan antara lain:
Konstruktif dan punya tujuan jelas
Sesuai definisinya, maka model pembelajaran harus kita susun secara konstruktif. Penyusunannya juga harus teoritis dan logis, artinya turut mencermati dan mempertimbangkan kondisi dari peserta didik. Kita tidak bisa asal-asalan merencanakan pembelajaran dengan mengesampingkan apa yang sebenarnya jadi kebutuh anak didik.
Selain itu, yang tidak kalah penting adalah seperti apa tujuan pembelajarannya. Tujuan itu bersifat spesifik dan meliputi beberapa aspek. Misalnya, apa yang hendak kita capai, seperti apa kemampuan peserta didik belajar, hingga bagaimana menyelesaikan masalah dalam proses pembelajaran.
Memberikan ruang untuk belajar
Sebagus-bagusnya rancangan model kita, semua akan jadi sia-sia ketika model tersebut tidak memberikan ruang bagi anak didik untuk belajar. Ingat, pengajaran haruslah bersifat aktif. Setiap peserta didik sebaiknya turut berpartisipasi dalam proses pengajaran agar tidak sekadar satu arah dari pendidik.
Sementara, ruang untuk belajar pun erat kaitannya dengan lingkungan. Pembelajaran harus kita dukung dengan suasana belajar yang kondusif. Peserta didik akan lebih nyaman belajar ketika lingkungan tempatnya belajar juga mendukung.
Konsisten pada struktur model
Masing-masing model tentu punya kerangka atau struktur berbeda-beda. Saat kita menggunakan salah satu jenisnya, kita mesti konsisten pada struktur tersebut. Tujuannya agar tidak membingungkan peserta didik selama proses belajar.
Kita boleh saja kok mengaplikasikan lebih dari satu metode dalam setiap proses belajar. Namun, yang patut kita cermati adalah konsistensi pada setiap modelnya.
Baca Juga: Kirkpatrick Model: Pengertian, Tahapan, dan Tipsnya
Tipe-tipe model pembelajaran

Selanjutnya, kita akan mencermati apa saja sih tipe model pembelajaran yang ada dan bagaimana ciri-cirinya.
1. Direct learning
Metode ini sangat umum kita jumpai, terutama di bangku sekolah. Sederhananya, direct learning merupakan metode dengan pendidik atau pengajar sebagai sentralnya. Pendidik secara langsung memberikan instruksi, materi, atau informasi baru secara terperinci ke peserta didik.
Tentu kita pernah ‘kan merasakan pengalaman belajar di mana guru berdiri di depan papan tulis sambil memaparkan semua materi? Nah, itulah bentuk dari direct learning. Metode ini punya kecenderungan satu arah, yaitu guru selalu “memberi” dan anak didik cukup “menerima”. Namun, anak didik tetap punya kesempatan untuk bertanya.
Direct learning punya kelebihan berupa lebih terstruktur rapi dan mampu memenuhi keterbatasan waktu seefektif mungkin. Hanya saja, ingat juga bahwa kemampuan dan kapasitas anak didik dalam menerima informasi berbeda-beda. Jadi, besar potensi pemahaman anak didik akan sangat bervariasi.
2. Problem based learning
Richard Arends memandang problem based learning sebagai media belajar efektif bagi peserta didik karena mereka dihadapkan pada suatu masalah. Dari masalah tersebut, peserta didik terdorong untuk menyusun pemahaman dan meningkatkan keterampilan untuk menyelesaikannya.
Dibandingkan metode direct learning, metode problem based learning lebih menuntut peserta didik belajar secara mandiri. Selain itu, metode ini juga efektif dalam meningkatkan kepercayaan diri serta proses berpikir kritis. Pendidik atau pengajar dapat bertindak sebagai fasilitator yang mengawasi dan memberikan nasihat jika diperlukan.
Meski begitu, ada satu kekurangan yang umum kita jumpai dari model ini. Waktu pembelajarannya jauh lebih panjang sehingga sulit untuk durasi terbatas.
3. Contextual teaching and learning
Metode berikutnya banyak bertumpu pada aplikasi materi atau pembahasan di kehidupan sehari-hari. Dalam proses belajar ini, peserta didik didorong untuk memahami bagaimana memakai pengetahuan atau informasi baru. Daripada mengutamakan hasil, contextual teaching and learning lebih memprioritaskan proses.
Kebanyakan pengajar menerapkan model ini dengan memanfaatkan kerja secara berkelompok dengan tidak melepaskan keterampilan individu. Contextual teaching and learning juga mendorong peserta didik untuk aktif dalam berpikir kritis sekaligus kreatif. Termasuk dalam membuat analisis, menciptakan sintesis, sampai mengambil keputusan.
4. Cooperative learning
Inti dari cooperative learning ada pada pembelajaran dalam kelompok kecil. Setiap kelompok terdiri dari beberapa individu dengan keterampilan dan kapasitas yang berbeda-beda. Kunci penting dari metode ini adalah kerja sama antaranggota tim untuk memahami hal baru.
Model pembelajaran ini efektif untuk menanamkan kepedulian terhadap orang lain. Selain itu, cooperative learning juga memantik keterlibatan semua peserta didik tanpa terkecuali. Lewat belajar dalam kelompok, setiap individu juga punya kesempatan untuk “mengajar” satu sama lain.
Andai kita ingin meningkatkan kemampuan dalam menyusun pembelajaran, tidak ada salahnya nih mencoba ikut sertifikasi profesi BNSP dari CertiHub by Belajarlagi. Sertifikasi ini sudah terverifikasi sebagai Lembaga Pelatihan Kerja dan efektif untuk menaikkan kredibilitas kita dalam bekerja.
Mengapa sih perlu ambil sertifikasi profesi? Melalui sertifikasi profesi, kompetensi yang kita miliki lebih teruji secara nasional sehingga pasti banyak menarik minat perusahaan. Peluang karier pun menjadi kian terbuka tanpa batas. Terakhir, kita juga senantiasa terpacu untuk terus berkembang guna menyesuaikan kebutuhan zaman.
Sertifikasi BNSP dari CertiHub by Belajarlagi dapat kita ikuti secara fleksibel dengan pendampingan langsung dari para mentor berpengalaman. Beberapa program sertifikasi profesi yang tersedia antara lain Digital Marketing, Practical Office Advanced, dan Human Resource.
Untuk informasi lebih lengkap, bisa cek langsung di website CertiHub by Belajarlagi, ya!
5. Discovery learning
Selanjutnya, ada metode discovery learning yang mengarahkan proses belajar melalui penelitian, penelusuran, penemuan, sampai pembuktian. Pada model ini, pendidik atau pengajar biasanya memberikan studi kasus yang mendorong peserta didik untuk menemukan alasan atau penyebabnya.
Langkah-langkah dalam discovery learning biasanya berupa: pemberian stimulasi, identifikasi masalah, pengumpulan data, pengolahan data, pembuktian, dan kesimpulan. Uniknya, metode ini dapat kita aplikasikan ke peserta didik baik secara individu maupun kelompok.
6. Project based learning
Berbeda dengan direct learning yang menjadikan pengajar sebagai pusat, metode project based learning memfokuskan peserta didik sebagai sentralnya. Dalam metode ini, peserta didik diberi kesempatan dalam menentukan kegiatan belajar ataupun membuat suatu proyek untuk menghasilkan suatu produk tertentu.
Berkaca dari hal tersebut, keberhasilan project based learning sangat bergantung pada tingkat keaktifan sekaligus kreativitas peserta didik. Melalui model ini, para peserta didik juga punya kesempatan mengasah berbagai keterampilan menggunakan alat atau bahan yang mampu menunjang aktivitas belajar.
7. Collaborative learning
Pada dasarnya, collaborative learning hampir mirip dengan cooperative learning karena sama-sama mengandalkan kerja sama. Hanya saja, metode collaborative learning menitikberatkan pada kerja dalam kelompok yang lebih terstruktur. Masing-masing peserta harus berkontribusi ke dalam tim, baik dengan mengerjakan tugas secara terpisah atau ikut serta dalam diskusi.
Yang perlu kita perhatikan adalah kesiapan peserta didik dalam menjalankan proses belajar ini. Pasalnya, tidak semua anak didik akan langsung siap berkolaborasi dalam tim. Sebagai pengajar, kita tetap punya tugas menjadi mentor bagi para peserta didik.
Hati-hati juga dengan persaingan antarkelompok. Adanya kompetisi sering kali membuat peserta didik berfokus pada kemenangan atau kekalahan. Padahal, tujuan dari metode ini sebenarnya ada proses belajar melalui kolaborasi.
8. Self directed learning
Model self directed learning merupakan pembelajaran mandiri yang dilakukan oleh peserta didik. Mereka bisa menentukan tujuan, dukungan yang dibutuhkan, dan strategi belajarnya sendiri. Alhasil, masing-masing peserta didik dapat menemukan gaya belajar yang paling ideal dan efektif untuknya.
Peran pengajar atau pendidik dalam metode ini adalah membantu peserta didik dalam mengidentifikasikan kebutuhan belajarnya. Pengajar tidak diperkenankan mengontrol atau mengarahkan bagaimana peserta didik belajar. Namun, pengajar boleh mendampingi peserta didik dalam evaluasi pelaksanaan metode belajarnya.
9. VARK learning model
Metode ini dikenal juga sebagai model belajar paling tradisional. VARK sendiri merupakan kependekan dari visual, auditory, read/write, dan kinesthetic. Masing-masing metode menggambarkan kapasitas peserta didik dalam belajar:
- Visual: Model belajar ini cocok untuk peserta didik yang lebih mudah memahami hal baru lewat gambar. Misalnya, infografis, peta, grafis, dan sebagainya.
- Auditory: Metode ini memanfaatkan suara dalam proses belajar. Bentuknya bermacam-macam, contohnya rekaman, podcast, hingga diskusi.
- Read/write: Pada metode ini, peserta didik belajar melalui tulisan. Contoh: artikel, buku, jurnal, dan lain-lain.
- Kinesthetic: Berbeda dari yang lain, model ini melibatkan aktivitas fisik peserta didik selama proses belajar. Contoh paling umum dalam bentuk praktikum, penelitian, hingga permainan.
Pada VARK learning model, pengajar mesti memahami kekuatan dari para peserta didik. Metode ini cukup merepotkan jika diterapkan di kelas besar karena karakter setiap peserta didik pasti berbeda-beda.
Baca Juga: Perbedaan Sertifikasi dan Pelatihan: Apa yang Harus Kamu Pilih?
Kesimpulan
Model pembelajaran adalah kerangka yang berisi prosedur menjalankan proses belajar secara sistematis guna mencapai tujuan tertentu. Dalam menyusun metode belajar, kita sebagai pendidik perlu mempertimbangkan kebutuhan para peserta didik agar lebih tepat sasaran.
Tipe model pembelajaran contohnya direct learning, problem based learning, contextual teaching and learning, cooperative learning, discovery learning, project based learning, collaborative learning, self directed learning, dan VARK learning model.